
Di tengah hiruk-pikuk lalu lintas, cahaya strobo yang berkedip kerap memancing respons yang bertolak belakang. Bagi sebagian, itu adalah pertolongan; bagi yang lain, itu adalah pengingat akan jurang pemisah yang dalam. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana strobo yang semestinya menjadi penjaga keselamatan, telah bertransformasi menjadi penanda kesenjangan sosial di aspal Indonesia.
Strobo dan Hilangnya Esensi Keselamatan
Awalnya, lampu strobo dirancang untuk situasi darurat. Fungsinya jelas: memberikan peringatan visual agar pengguna jalan lain dapat memberikan jalan untuk kepentingan penyelamatan nyawa. Namun, realitanya kini sangat berbeda. Penggunaan strobo telah meluas menjadi semacam “pas jalan” bagi kalangan tertentu untuk melibas kemacetan. Kilatannya yang menyilaukan bukan lagi simbol penyelamat, melainkan sirene yang membunyikan kelas privilege. Ketika sebuah kendaraan pribadi memaksakan jalan dengan strobo tanpa urgensi yang jelas, yang terluka bukan hanya lalu lintas, tetapi juga rasa keadilan masyarakat.
Kesenjangan Sosial dalam Setiap Kedipan Strobo
Setiap kali pengendara motor, ojek online, atau mobil biasa terpaksa menepi untuk memberi jalan pada kendaraan ber-strobo, sebuah narasi ketimpangan terpampang nyata. Mereka yang harus mengalah adalah representasi dari “rakyat kecil” yang perjuangan hariannya di jalan harus terinterupsi oleh kemewahan hak istimewa. Sementara mereka yang berada di balik kemudi ber-strobo seringkali adalah representasi elit yang merasa waktu mereka lebih berharga. Strobo dalam konteks ini menjadi pemisah yang nyata; sebuah garis demarkasi antara yang “berkuasa” dan yang “harus mengalah”. Ia adalah cermin dari ketidaksetaraan yang semakin lebar, dimana hukum seolah memiliki dua wajah.
Regulasi dan Penegakan Hukum yang Tumpul
Sebenarnya, payung hukum sudah jelas. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara tegas mengatur penggunaan lampu isyarat (strobo) dan sirene. Penggunaannya dibatasi hanya untuk kendaraan operasional tertentu seperti ambulans, pemadam kebakaran, dan patroli polisi, termasuk untuk kepentingan pengawalan tamu negara. Masalahnya terletak pada penegakan hukum yang lemah. Kendaraan yang seharusnya tidak berhak, dengan leluasa memasang dan menggunakan strobo. Ketidaktegasan inilah yang memperburuk persepsi publik, bahwa aturan hanya berlaku untuk warga biasa, sementara para pemegang privilege dapat dengan mudah mengelaknya.
Menuju Masa Depan: Mengembalikan Martabat Strobo
Lalu, apa solusinya? Langkah pertama adalah penegakan hukum yang konsisten dan tanpa tebang pilih. Setiap penyalahgunaan strobo harus ditindak tegas, terlepas dari siapa yang mengendarai kendaraan tersebut. Edukasi juga penting untuk menanamkan pemahaman bahwa strobo bukanlah aksesori atau simbol status, melainkan alat untuk kepentingan publik yang lebih besar. Dengan mengembalikan strobo pada fungsi mulianya, kita bukan hanya membuat lalu lintas lebih tertib, tetapi juga menjahit kembali tenun sosial yang sempat terkoyak oleh kesenjangan. Pada akhirnya, kita berharap kilatan strobo kembali menjadi tanda harapan, bukan emblem ketidakadilan.